Langsung ke konten utama

TENTANG SASTRA LISAN SALUAN (Pertanggungjawaban Seni Pertunjukan Mendongeng) Oleh: Suparman Tampuyak

Tulisan ini sebenarnya tulisan yang mengendap bertahun-tahun dan hampir terlupakan seiring dengan terlupakannya sastra lisan Saluan. Tulisan ini memang pernah dan hanya dibaca oleh dewan pengamat pada Festival Dongeng, Pekan Budaya Propinsi Sulawesi Tengah di Kabupaten Toli-Toli 2008. Kala itu saya bersama utus, Subrata Kalape, S.Sn. juga to utu-utus dari Komunitas Seni Rompong, Laboratorium Art Polabotan Universitas Tompotika Luwuk dipercayakan sebagai penggarap dan pendukung tangkai-tangkai festival. Salah satu tangkai yang kami garap adalah seni pertunjukan mendongeng. Dan atas saran Subrata Kalape, S.Sn. kiranya saya harus membuat konsep pertunjukan dan sinopsis dongeng.  Jadilah tulisan ini.
Mengapa saya publikasikan tulisan ini? Ketika saya menemukan kembali tulisan ini, pikiran saya berbunga-bunga walaupun kesenyapan alam desa mengerayangi tubuh saya. Dan muncul birahi  untuk menyebarkan tulisan yang kadaluarsa ini, saya kembali berpikir ini pekerjaan aneh.  Tulisan ini bukan zamannya lagi karena konsep yang mengalir dalam garapan dongeng pada pekan budaya tersebut telah berlalu sekian tahun lamanya. Tapi, saya buru-buru menepis pikiran itu dan menggantinya dengan pikiran bahwa tulisan ini akan menjadi catatan dan saksi perjalanan seni pertunjukan mongundu di Kabupaten Banggai.

Konsep Garapan
Sastra lisan Saluan ialah bentuk sastra lisan yang berasal dari inspirasi masyarakat Saluan dalam berbagai bentuk dan jenis. Tumbuh dan berkembang secara turun temurun serta disampaikan secara lisan dari mulut ke mulut oleh anggota masyarakat Saluan (Saro, 1988). Inspirasi komunal yang melatarbelakangi tema-tema cerita dalam sastra lisan Saluan bersumber dari fenomena dan  realitas budaya yang terjadi dilingkungan masyarakat Saluan. Dari segi bentuk,  sastra lisan Saluan berbentuk prosa dan puisi. Bentuk prosa sastra lisan Saluan disebut undu-unduon (dongeng) dan bentuk puisi dalam sastra lisan Saluan disebut ande-ande (pantun). 
Penuturan bentuk-bentuk sastra lisan Saluan kepada masyarakatnya dapat dilakukan dengan dua cara. Cara pertama, penuturan yang menjadi kebiasaan umum dan tidak resmi. Cara kedua, pelaksanaan dan tempat penuturan disiapkan terlebih dahulu. Misalnya, dalam pesta perkawinan, pesta kelahiran dan khitanan (Saro, 1988).
Cara pertama dipakai untuk bentuk sastra lisan undu-unduon. Situasi dalam penuturan ini penuh kekeluargaan. Pakaian dan waktu penuturan yang dipergunakan tidak mengikat. Begitupula masyarakat yang kebetulan datang mendengarkan undu-unduon mempunyai tujuan untuk berkumpul menikmati suasana dengan santai sambil melepaskan lelah setelah sehari penuh bekerja di kebun, atau sehabis melaut. Sedangkan cara kedua dipakai untuk bentuk sastra lisan ande-ande. Situasi dan waktu dalam penuturan ini terbatas karena orang yang datang mendapat undangan untuk memenuhi perayaan pesta.
Lazimnya, menurut Ahmad Saro (1988) dalam buku Sastra Lisan Saluan bahwa “penuturan undu-unduon tidak memerlukan perlengkapan penyajian misalnya alat pengiring.  Untuk menarik dan merangsang pendengar agar mengikuti cerita sampai akhir hanya ditentukan oleh kemampuan penutur membawakan setiap peristiwa dalam cerita.” Hal ini berbeda dengan penuturan ande-ande yang sering kita dengar selalu memakai alat pengiring. Misalnya musik gambus, atau alat musik kulele.
Berdasarkan pernyataan di atas, kami melakukan upaya tindak lanjut dalam bentuk observasi terhadap fakta-fakta penuturan dongeng di lingkungan masyarakat Saluan. Hasil observasi menunjukkan bahwa peristiwa mongundu semata-mata bertumpu pada  kekuatan pencerita di samping hadirnya pendengar cerita.  Sementara dalam seni pertunjukan ada beberapa aspek pertunjukan yang harus kita perhatikan pula.
Mongundu dalam konteks seni pertunjukan adalah menghadirkan tokoh pencerita dan tokoh pendengar cerita sambil memerhatikan aspek pertunjukan. Misalnya, penguatan dari sisi kostum yang dipakai oleh tokoh pencerita dan tokoh pendengar cerita lebih mencerminkan tema undu-unduon yang diceritakan. Begitu pula latar dalam pertunjukan disetting sesuai latar cerita undu-unduon. Penguatan lain yang tak kalah pentingnya adalah upaya-upaya penutur cerita untuk menyampaikan alur, tokoh, dan peristiwa cerita dari bahasa Saluan ke bahasa Indonesia.  Serta kehadiran pendengar cerita untuk memerankan adegan cerita. Hal ini dilakukan mengingat penonton sebuah pertunjukan adalah  masyarakat yang berasal dari berbagai bahasa.
Inilah sedikit saja tentang undu-unduon yang menjelma sebuah kemasan pertunjukan dongeng. Semoga nilai-nilai undu-unduon tak sekedar komoditi musiman. Salam dari kesenyapan pinggiran Desa Padungnyo Kecamatan Nambo untuk pekerja seni Kabupaten Banggai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DONGENG

I HODI KA I GEO Utu mae, dagi ko olitau anu mosangalu. To olitau aijo sanggo nu aha I Geo ka I Hodi. Aha ma isa ko pakalajaan. Aha biasa molio kau i alas da opo baluk ka mongolu. Pakalajaan na obau ola polioan mongkan sansina - sina. Ka tudunannyo, mongkalaja uka sina, anu ohumpak ola pongkan uka sina. I Santu u sina no sintokamo na I Geo ka I Hodi ka binasalemo na aha da mamba mongulu. Bai aha aide mbak ko pongulu ka duangan. I Hodi ka I Geo bina pikilmo mosia da aha mohumpak duangan ka pongulu. Tinonginaumo na aha da monsabol duangan belie Babo Ise. Nambamo na aha belie Babo Ise anu dagi I papayan. Tinokamo na aha I papayan, nosintakamo  ka I Babo Ise. Aha nompo hampemo makasud da monsabol duangan ka pongulu I Babo Ise. “Mosia na lele Babo Ise?” pokilawai I Hodi. “Aide, ima-imanyo,” koi Babo Ise. “Babo Ise, aidemo na nulio mami,” koi I Geo “Apaa… na oliu miu?” pokilawai Babo Ise mule. “Anulio mami mate duangan,” koi I Hodi. “Bee.. duangan I Babo

UNDU-UNDUON NU SALUAN

LABOBODO Utu nae ko mian anu ponga manteng, sahingga mian sanang mombel sanggonyo toba I Laobodo. Kosansinanyo aitu osowanyo manembele toba ahi mobaat. Kopihinyo nongipino aitu osowanyo. I uno ipionnyo aijo tinoka mian mompoto'i ia konyo, "Pasakitum atino bisa moalin, kalu ako mohae monginum pakuli lengket bua u kawu. Sanggonyo aitu bua u kumang-kumang." Noko nobangun nompokilawamo na oine I Labobodo konyo, "Daang kita toho nompia bua kau kumang-kumang?'' Konyo osowanyo, ''Oh daang, aku to ho nompia bai jongannyo hamo inginanku." ''Kalu humo atina, "konyo I Labobodo, "Sina uka aku mombamo molio bua kau atina naoko maulua ma'alim," I.a.pas taijo ia nambamo ahi. Togonga ualas mbahan sinumbu-sinumbunyo ia nosihumpak tobai Mantebenge. nompokilawamo aitu Mantebenge belei I Labobodo, "He, oko atina mamba monyo?" "Aku aya mamba molio bua kumang-kumang bau pakuli mosia osowangku masakit

DARI SELIMUT PUTIH BUAT BUAT UDU SAMPAI KE LOMBA MINAT BACA

Beberapa waktu lalu saya berkesempatan berkunjung ke BPU (Balai Pertemuan Umum) Kelurahan Luwuk. Kunjungan saya terakhir ke BPU Luwuk sekitar tahun 2000 atau 2001, yang pastinya saya agak lupa. Interior gedung tersebut tidak banyak berubah. Hanya ada foto-foto kepala kelurahan dari periode ke periode yang tergantung di salah satu sisi dinding tersebut. Saat berada dalam gedung tersebut pikiranku mengembara kembali ke masa mula pertama menggarap seni pertujukan di Kota Luwuk. Ketika itu saya bersama para sahabat dari Kantata Dongkalan yang getol menggelar konser musik. Bersama mereka menggarap pertunjukan teater untuk opening konser musik. Naskah yang kami garap “Selimut Putih Buat Udu” karya bersama Agus Subiakto (almarhum). Hampir dua bulan lebih kami latihan yang diliputi gairah muda, gairah bermusik, dan gairah berakting. Dan akhirnya naskah “Selimut Putih Buat Udu” sukses kami pentaskan di Bioskop Ramayana Theater, sekarang kompleks ruko dan tempat makan-makan Pujasera. Inil