Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2017

TENTANG SASTRA LISAN SALUAN (Pertanggungjawaban Seni Pertunjukan Mendongeng) Oleh: Suparman Tampuyak

Tulisan ini sebenarnya tulisan yang mengendap bertahun-tahun dan hampir terlupakan seiring dengan terlupakannya sastra lisan Saluan. Tulisan ini memang pernah dan hanya dibaca oleh dewan pengamat pada Festival Dongeng, Pekan Budaya Propinsi Sulawesi Tengah di Kabupaten Toli-Toli 2008. Kala itu saya bersama utus , Subrata Kalape, S.Sn. juga to utu-utus dari Komunitas Seni Rompong, Laboratorium Art Polabotan Universitas Tompotika Luwuk dipercayakan sebagai penggarap dan pendukung tangkai-tangkai festival. Salah satu tangkai yang kami garap adalah seni pertunjukan mendongeng. Dan atas saran Subrata Kalape, S.Sn. kiranya saya harus membuat konsep pertunjukan dan sinopsis dongeng.  Jadilah tulisan ini. Mengapa saya publikasikan tulisan ini? Ketika saya menemukan kembali tulisan ini, pikiran saya berbunga-bunga walaupun kesenyapan alam desa mengerayangi tubuh saya. Dan muncul birahi  untuk menyebarkan tulisan yang kadaluarsa ini, saya kembali berpikir ini pekerjaan aneh.  Tulisan ini

DARI SELIMUT PUTIH BUAT BUAT UDU SAMPAI KE LOMBA MINAT BACA

Beberapa waktu lalu saya berkesempatan berkunjung ke BPU (Balai Pertemuan Umum) Kelurahan Luwuk. Kunjungan saya terakhir ke BPU Luwuk sekitar tahun 2000 atau 2001, yang pastinya saya agak lupa. Interior gedung tersebut tidak banyak berubah. Hanya ada foto-foto kepala kelurahan dari periode ke periode yang tergantung di salah satu sisi dinding tersebut. Saat berada dalam gedung tersebut pikiranku mengembara kembali ke masa mula pertama menggarap seni pertujukan di Kota Luwuk. Ketika itu saya bersama para sahabat dari Kantata Dongkalan yang getol menggelar konser musik. Bersama mereka menggarap pertunjukan teater untuk opening konser musik. Naskah yang kami garap “Selimut Putih Buat Udu” karya bersama Agus Subiakto (almarhum). Hampir dua bulan lebih kami latihan yang diliputi gairah muda, gairah bermusik, dan gairah berakting. Dan akhirnya naskah “Selimut Putih Buat Udu” sukses kami pentaskan di Bioskop Ramayana Theater, sekarang kompleks ruko dan tempat makan-makan Pujasera. Inil
RUANG, SANGGAR SENI DAN PENONTON (Catatan Pertunjukkan Teater) Malam ini saya membuka file catatan seadanya dan ketemu catatan yang satu ini) Setelah sekian lama tidak menyaksikan pertunjukan teater,  alhamdulillah pada malam 27 April 2017 saya kembali menyaksikan pertunjukan teater di kota tercinta. Pertunjukan teater terakhir yang saya saksikan sebelumnya bertempat di Taman Budaya Palu. Saat itu sedang dihelat Pra-Festival Teater Nasional 2016. Tahun sebelumnya 2015 sempat menyaksikan Festival Teater Anak Nasional di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Kebetulan juga saya dan teman-teman -Subrata Kalape, Azmi Anwar dan Mahendra Pamolango, dan Gocap Tampurung- menggarap pertunjukkan pada festival tersebut. Ada catatan yang patut perhatian kita bersama dalam peristiwa teater di Kota Luwuk, kota yang diam-diam saya tinggalkan untuk menyepi. Pertama, tempat pertunjukan. Kedua, kelompok teater. Ketiga penonton. Kita sering menyaksikan pertunjukan teater di gedung pertunjukan atau
Hakikat Sastra Anak (Disarikan dari tulisan Burhan Nurgiyantoro)                     Sastra berbicara tentang kehidupan, tentang persoalan hidup manusia, tentang kehidupan di sekitar manusia, yang kesemuanya diungkapkan dengan cara dan bahasa yang khas           Sastra selalu menawarkan dua hal, yaitu kesenangan dan pemahaman. Kesenangan muncul karena sastra menampilkan cerita yang menarik, mengem­bangkan fantasi, dan menghibur pembaca Pemahaman berkaitan dengan tampilan persoalan kehidupan dalam sastra. Eksplorasi kehidupan dalam  sastra akan menambah pemahaman pembaca pada kehidupan nyata .           Sastra pada hakikatnya adalah citra atau gambaran kehidupan ( image of life ), yakni penggambaran secara konkret tentang model-model kehidupan manusia. Juga merupakan metafora kehidupan ( methapor for living ), yakni model-model kehidupan dalam sastra merupakan kiasan, simbolisasi, dan perbandingan dari kehidupan sesungguhnya. Pada dasarnya karakteristik sas

UNDU-UNDUON NU SALUAN

LABOBODO Utu nae ko mian anu ponga manteng, sahingga mian sanang mombel sanggonyo toba I Laobodo. Kosansinanyo aitu osowanyo manembele toba ahi mobaat. Kopihinyo nongipino aitu osowanyo. I uno ipionnyo aijo tinoka mian mompoto'i ia konyo, "Pasakitum atino bisa moalin, kalu ako mohae monginum pakuli lengket bua u kawu. Sanggonyo aitu bua u kumang-kumang." Noko nobangun nompokilawamo na oine I Labobodo konyo, "Daang kita toho nompia bua kau kumang-kumang?'' Konyo osowanyo, ''Oh daang, aku to ho nompia bai jongannyo hamo inginanku." ''Kalu humo atina, "konyo I Labobodo, "Sina uka aku mombamo molio bua kau atina naoko maulua ma'alim," I.a.pas taijo ia nambamo ahi. Togonga ualas mbahan sinumbu-sinumbunyo ia nosihumpak tobai Mantebenge. nompokilawamo aitu Mantebenge belei I Labobodo, "He, oko atina mamba monyo?" "Aku aya mamba molio bua kumang-kumang bau pakuli mosia osowangku masakit

CATATAN FLS2N TINGKAT SMA KABUPATEN BANGGAI 2017

CATATAN PERTAMA TENTANG TEATER MONOLOG Salah satu tangkai lomba FLS2N Tingkat SMA adalah lomba teater monolog. Monolog adalah pertunjukkan  teater yang hanya dimainkan oleh satu orang pemain dengan menekankan ketrampilan seni peran (keaktoran-akting). Seluruh unsur cerita ditampilkan berdasarkan ketrampilan pemain dalam memerankan tokoh yang diceritakannya.  Lomba monolog tahun 2017 ini mengambil tema "Dengan ketrampilan seni peran monolog, kita ekspresikan gagasan tentang keragaman seni budaya dalam kebersamaan demi kejayaan Indonesia." Dan puncak pelaksanaan lomba monolog akan digelar pada FLS2N Tingkat Nasional 2017 di Kupang. Tangkai lomba seni peran ini dilaksanakan secara berjenjang. Mulai jenjang kabupaten sampai jenjang provinsi. Peserta yang menjadi juara di tingkat kabupaten berhak mewakili kabupatennya di tingkat provinsi. Begitu pula peserta yang menjadi juara di tingkat provinsi berhak mengikuti FLS2N tingkat nasional.  Peserta dalam lomba ini da

DONGENG

I HODI KA I GEO Utu mae, dagi ko olitau anu mosangalu. To olitau aijo sanggo nu aha I Geo ka I Hodi. Aha ma isa ko pakalajaan. Aha biasa molio kau i alas da opo baluk ka mongolu. Pakalajaan na obau ola polioan mongkan sansina - sina. Ka tudunannyo, mongkalaja uka sina, anu ohumpak ola pongkan uka sina. I Santu u sina no sintokamo na I Geo ka I Hodi ka binasalemo na aha da mamba mongulu. Bai aha aide mbak ko pongulu ka duangan. I Hodi ka I Geo bina pikilmo mosia da aha mohumpak duangan ka pongulu. Tinonginaumo na aha da monsabol duangan belie Babo Ise. Nambamo na aha belie Babo Ise anu dagi I papayan. Tinokamo na aha I papayan, nosintakamo  ka I Babo Ise. Aha nompo hampemo makasud da monsabol duangan ka pongulu I Babo Ise. “Mosia na lele Babo Ise?” pokilawai I Hodi. “Aide, ima-imanyo,” koi Babo Ise. “Babo Ise, aidemo na nulio mami,” koi I Geo “Apaa… na oliu miu?” pokilawai Babo Ise mule. “Anulio mami mate duangan,” koi I Hodi. “Bee.. duangan I Babo

LEGENDA

ASAL-USUL AIR TERJUN HANGA-HANGA Konon, dahulu kala di kota Banggai yang menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Banggai, banyak terdapat sumber (air jatuh), sungai-sungai besar dan mata air. Banyaknya sumber air itu membuat Kerajaan Banggai menjadi sangat subur. Kesuburannya Bumi Banggai di tambah tekunnya rakyat dalam mengolah lahan, menjadikan sebagian besar rakyat Banggai dapat hidup makmur dan sejahtera karena hasil bumi mereka selalu melimpah ruah. Kondisi alam yang ramah menjadi lengkap dengan hadirnya pemimpin -Raja Adi Cokro- yang sangat amanah. Adi Cokro pun dikenal bijaksana. Wajar jika Kerajaan Banggai jadi sangat terkenal karena rakyatnya hidup damai, sejahtera dan aman sentosa. Suatu ketika ketentraman dan kebahagian yang dirasakan rakyat Banggai jadi terganggu. Rakyat Banggai tidak bisa lagi menuai panen dari lahan mereka. Karena lahan pertanian mereka mengalami kekeringan dan kekurangan air. Padahal saat itu bukan musim kemarau. Kekeringan dan