Langsung ke konten utama

Postingan

Ritual Pengobatan

Ritus Mombolian (Pengobatan Orang Sakit) Mombolian adalah ritual yang sering digunakan untuk pengobatan terhadap orang sakit, terutama untuk penyakit-penyakit yang sulit terdiagnosa ataupun sulit disembuhkan oleh dokter. Hingga saat ini, sebagian masyarakat Balantak terutama yang tinggal di wilayah pedesaan masih percaya bahwa penyakit pada seseorang tidak hanya disebabkan oleh hal-hal kasat mata seperti dalam pandangan medis modern, tetapi disebabkan pula oleh mahluk halus yang berdiam di hutan atau di sekitar tempat mereka berkebun. Penyakit-penyakit yang disebabkan oleh makhluk halus umumnya terlihat biasa tetapi sangat sulit disembuhkan meskipun sudah berkali-kali mendapat penanganan medis modern. Untuk menyembuhkannya maka orang Balantak melakukan ritual mombolian. Untuk memastikan bagaimana proses penyembuhan dan berapa besar pengorbanan yang harus diberikan maka dilakukan ritual mumulos dan atau metode-metode ritual diangnosa yang lain. Selain sebagai ritus penyembu
Postingan terbaru

AKU DATANG DARI HATIMU

      (Suparman Tampuyak) Ical nampak terburu-buru menuju halaman parkir dan langsung masuk ke dalam mobil.  “Jadi, langsung ke bandara?” tanya Amat dengan raut muka bingung setelah Ical berada di dalam mobil.   “Iya, besok ada jadwal kegiatan,” Ical memperbaiki posisi duduk dan mengarahkan pendingin ruang mobil ke wajahnya yang nampak kusut. “Bukan main kau itu,” sambung Amat dengan aksen Kaili.  Amat sahabat Ical sejak SMA telah lama bermukim di Kota Palu yang mayoritas penduduknya Suku Kaili. Setidaknya hal ini memengaruhi aksennya dalam komunikasi sehari-hari. “Pagi datang, sore pulang. Macam te ada teman kau di sini.” Sambil menjalankan dan mengarahkan mobil ke arah jalur bandara. Ical hanya tersenyum   sambil menikmati “ Dia- nya Anji ” dan memandangi sibuknya Kota Palu di siang hari dari balik kaca hitam mobil. Lima belas menit kemudian mereka tiba di bandara. “Lantas, kapan?’              “Maksudmu?’ Ical balik bertanya seraya meneguk kopi hit

TENTANG SASTRA LISAN SALUAN (Pertanggungjawaban Seni Pertunjukan Mendongeng) Oleh: Suparman Tampuyak

Tulisan ini sebenarnya tulisan yang mengendap bertahun-tahun dan hampir terlupakan seiring dengan terlupakannya sastra lisan Saluan. Tulisan ini memang pernah dan hanya dibaca oleh dewan pengamat pada Festival Dongeng, Pekan Budaya Propinsi Sulawesi Tengah di Kabupaten Toli-Toli 2008. Kala itu saya bersama utus , Subrata Kalape, S.Sn. juga to utu-utus dari Komunitas Seni Rompong, Laboratorium Art Polabotan Universitas Tompotika Luwuk dipercayakan sebagai penggarap dan pendukung tangkai-tangkai festival. Salah satu tangkai yang kami garap adalah seni pertunjukan mendongeng. Dan atas saran Subrata Kalape, S.Sn. kiranya saya harus membuat konsep pertunjukan dan sinopsis dongeng.  Jadilah tulisan ini. Mengapa saya publikasikan tulisan ini? Ketika saya menemukan kembali tulisan ini, pikiran saya berbunga-bunga walaupun kesenyapan alam desa mengerayangi tubuh saya. Dan muncul birahi  untuk menyebarkan tulisan yang kadaluarsa ini, saya kembali berpikir ini pekerjaan aneh.  Tulisan ini

DARI SELIMUT PUTIH BUAT BUAT UDU SAMPAI KE LOMBA MINAT BACA

Beberapa waktu lalu saya berkesempatan berkunjung ke BPU (Balai Pertemuan Umum) Kelurahan Luwuk. Kunjungan saya terakhir ke BPU Luwuk sekitar tahun 2000 atau 2001, yang pastinya saya agak lupa. Interior gedung tersebut tidak banyak berubah. Hanya ada foto-foto kepala kelurahan dari periode ke periode yang tergantung di salah satu sisi dinding tersebut. Saat berada dalam gedung tersebut pikiranku mengembara kembali ke masa mula pertama menggarap seni pertujukan di Kota Luwuk. Ketika itu saya bersama para sahabat dari Kantata Dongkalan yang getol menggelar konser musik. Bersama mereka menggarap pertunjukan teater untuk opening konser musik. Naskah yang kami garap “Selimut Putih Buat Udu” karya bersama Agus Subiakto (almarhum). Hampir dua bulan lebih kami latihan yang diliputi gairah muda, gairah bermusik, dan gairah berakting. Dan akhirnya naskah “Selimut Putih Buat Udu” sukses kami pentaskan di Bioskop Ramayana Theater, sekarang kompleks ruko dan tempat makan-makan Pujasera. Inil
RUANG, SANGGAR SENI DAN PENONTON (Catatan Pertunjukkan Teater) Malam ini saya membuka file catatan seadanya dan ketemu catatan yang satu ini) Setelah sekian lama tidak menyaksikan pertunjukan teater,  alhamdulillah pada malam 27 April 2017 saya kembali menyaksikan pertunjukan teater di kota tercinta. Pertunjukan teater terakhir yang saya saksikan sebelumnya bertempat di Taman Budaya Palu. Saat itu sedang dihelat Pra-Festival Teater Nasional 2016. Tahun sebelumnya 2015 sempat menyaksikan Festival Teater Anak Nasional di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Kebetulan juga saya dan teman-teman -Subrata Kalape, Azmi Anwar dan Mahendra Pamolango, dan Gocap Tampurung- menggarap pertunjukkan pada festival tersebut. Ada catatan yang patut perhatian kita bersama dalam peristiwa teater di Kota Luwuk, kota yang diam-diam saya tinggalkan untuk menyepi. Pertama, tempat pertunjukan. Kedua, kelompok teater. Ketiga penonton. Kita sering menyaksikan pertunjukan teater di gedung pertunjukan atau
Hakikat Sastra Anak (Disarikan dari tulisan Burhan Nurgiyantoro)                     Sastra berbicara tentang kehidupan, tentang persoalan hidup manusia, tentang kehidupan di sekitar manusia, yang kesemuanya diungkapkan dengan cara dan bahasa yang khas           Sastra selalu menawarkan dua hal, yaitu kesenangan dan pemahaman. Kesenangan muncul karena sastra menampilkan cerita yang menarik, mengem­bangkan fantasi, dan menghibur pembaca Pemahaman berkaitan dengan tampilan persoalan kehidupan dalam sastra. Eksplorasi kehidupan dalam  sastra akan menambah pemahaman pembaca pada kehidupan nyata .           Sastra pada hakikatnya adalah citra atau gambaran kehidupan ( image of life ), yakni penggambaran secara konkret tentang model-model kehidupan manusia. Juga merupakan metafora kehidupan ( methapor for living ), yakni model-model kehidupan dalam sastra merupakan kiasan, simbolisasi, dan perbandingan dari kehidupan sesungguhnya. Pada dasarnya karakteristik sas

UNDU-UNDUON NU SALUAN

LABOBODO Utu nae ko mian anu ponga manteng, sahingga mian sanang mombel sanggonyo toba I Laobodo. Kosansinanyo aitu osowanyo manembele toba ahi mobaat. Kopihinyo nongipino aitu osowanyo. I uno ipionnyo aijo tinoka mian mompoto'i ia konyo, "Pasakitum atino bisa moalin, kalu ako mohae monginum pakuli lengket bua u kawu. Sanggonyo aitu bua u kumang-kumang." Noko nobangun nompokilawamo na oine I Labobodo konyo, "Daang kita toho nompia bua kau kumang-kumang?'' Konyo osowanyo, ''Oh daang, aku to ho nompia bai jongannyo hamo inginanku." ''Kalu humo atina, "konyo I Labobodo, "Sina uka aku mombamo molio bua kau atina naoko maulua ma'alim," I.a.pas taijo ia nambamo ahi. Togonga ualas mbahan sinumbu-sinumbunyo ia nosihumpak tobai Mantebenge. nompokilawamo aitu Mantebenge belei I Labobodo, "He, oko atina mamba monyo?" "Aku aya mamba molio bua kumang-kumang bau pakuli mosia osowangku masakit